Teringat Sabtu lalu di sebuah pertigaan yang ramai lalu lintas di Surabaya penulis melihat ada pengecer koran yang menawarkan korannya pada pengguna jalan. Tidak jauh dari yang pertama ada lagi yang lainnya. Koq ya di sini ada penjual koran (lagi) yaa ... pikir penulis. Penulis jadi ingin tahu apa ada berita menarik dari sekitar wilayah itu atau mungkin ada isu yang sedang trending topic. Penulis lantas berhenti dan membeli. Jadi teringat hal demikian biasa penulis lakukan pada masa dahulu sebelum keadaan berubah. Sebutlah, itu sebelum keberadaan media sosial menjadi alternatif sumber berita.
Berita koran pada masanya selalu ditunggu, lembar surat
kabar diperebutkan, isinya dipercaya dan mempengaruhi opini masyarakat. Saat
itu belum ada kosa kata ‘hoaks’ atau berita bohong. Wartawan diibaratkan ratu
dunia. Sebelumnya, siaran radio juga menjadi
saluran informasi utama. Keberadaan penyiar radio amat diidolakan para
pendengar penggemarnya. Jangankan cari berita, penulis sempat sering menikmati
siaran pandangan mata pertandingan sepak bola, khususnya pertandingan Galatama,
Liga Sepak Bola Utama. Penyiar Pak Supangat
dari RGS, Radio Gelora Surabaya, begitu bersemangat, berapi-api menyiarkan.
Sesudah era radio, kita menyaksikan dunia pertelevisian
berkembang pada sekitar tahun 1990. Setelah TVRI lama memonopoli, muncullah
beberapa televisi swasta nasional, yakni RCTI oke, SCTV, ANTV keren, TPI serta
Indosiar ikan teri. Kebutuhan masyarakat terhadap informasi lantas diipuaskan dengan
tayangan hidup di layar kaca. Meski begitu, untuk sementara waktu, koran dan
televisi terlihat hidup berkembang saling beriringan tidak saling
menenggelamkan. Keduanya diperlukan oleh segmen, situasi atau untuk kondisi
yang berbeda.
Nah, begitu teknologi internet dan digital melesat merambah
dalam kehidupan masyarakat, media informasi cetak, khususnya koran, seakan mendapat
serangan. Update berita harian surat kabar pagi atau sore kalah cepat
atau terlambat dibanding penyebaran informasi lewat media sosial. Oplah surat
kabar yang semula ada yang mencapai ratusan ribu tiap hari, tidak dapat
bertahan, menurun. Penulis sempat menikmati pemberitaan di Jawa Pos, Suara
Pembaharuan, Kompas, Republika, Pelita, Surabaya Post, Media Indonesia.
Nama-nama besar tersebut kita lihat ada yang lalu mengembangkan media online.
Bahkan Republika kini meninggalkan format cetak dan sepenuhnya bentuk online.
Media sosial hadir dalam kehidupan era informasi yang lebih
bebas dan terbuka seiring kemajuan teknologi informasi, hape. Semula sempat
sering terdengar celetukan orang 'medsos koq dipercaya?' Dalam pandangan mereka
media sosial banyak memuat guyonan atau sekedar pemanis pergaulan, kabar yang
remeh-temeh, tak penting-penting amat, bahkan hoaks. Faktanya, dalam
perkembangannya di medsos sering ditemui informasi penting, gawat, darurat, yang tak diangkat di media arus utama atau
mainstream. Betapa orang akhirnya pun suka memantau info di media sosial,
bahkan tergantung atau kecanduan untuk selalu membuka medsos setiap waktu. Masyarakat
mulai malas menonton televisi atau koran besar.
Lalu orang melihat tivi hanya pas ada siaran sepak bola atau anak-anak menonton film kartun atau tayangan kesukaan mereka. Orang tak lagi menunggu Dunia Dalam Berita atau bahkan tak lagi mengistimewakan Breaking News, Berita Terkini di tivi. Tak jarang, televisi menurunkan berita yang sudah lebih dulu tayang di platform you tube, misalnya, atau apalagi video-video yang secepat kilat menyebar di Whattsap. Yang di tivi semula sebagai pembanding atau mungkin lebih lengkap dan kredibel. Lama-lama orang tak merasa perlu melihat tivi. Pernah ada survey bahwa hanya 20% saja orang muda yang menonton tivi. Dapat dipastikan sekarang lebih menurun lagi.
Saat musim kampanye pilpres, televisi nasional juga
koran-koran yang punya nama besar gencar memberitakan hasil survey tingkat
keterpilihan para calon. Muncullah dugaan itu adalah bagian dari kampanye pihak
tertentu, settingan, survey abal-abal, untuk penggiringan opini, pemenangan
paslon tertentu. Di saat lain, ketika ada suatu isu yang ramai diperbincangkan
di masyarakat, viral di media sosial, justru media besar televisi atau koran
tak selalu memuat. Mereka ternyata pilih-pilih berita sesuai kepentingan atau
pesanan. Independensi jurnalistik dari mereka dipertanyakan.
Beberapa waktu lalu tersiar berita PHK banyak karyawan di televisi nasional ternama. Televisi kehilangan pemirsa karena kurang kreatif dan inovatif hingga kalah kompetisi di tengah gempita media sosial dan media online. Yang miris adalah mereka tak lagi dipercaya. Media besar televisi, koran, dinilai tak independen. Mereka dapat disetir atau dibeli pemilik modal. Barangkali satu dua saja yang berintegritas, berani obyektif, adil, berimbang dan menolak sikap tidak jujur.
Sayangnya, pemilik media sebagian besar adalah para cukong atau pengusaha yang banyak kepentingan. Para intelektual di dunia jurnalistik terancam integritasnya. Teringat sikap Cak Nun, budayawan Emha Ainun Nadjib, yang dari dulu tidak sudi tampil di media televisi nasional. Di negeri yang konon senang sopan santun dan gotong royong ini kejujuran dan keadilan masih susah sebagaimana susahnya rakyat untuk sejahtera. Wallaahu a'lam.
_________
Lamongan, Sabtu 24 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar