Sabtu, 24 Mei 2025

Lebih Ramai di Medsos, Bila Media Besar Tak Jujur & Memiihak

______________

Teringat Sabtu lalu di sebuah pertigaan yang ramai lalu lintas di Surabaya penulis melihat ada pengecer koran yang menawarkan korannya pada pengguna jalan. Tidak jauh dari yang pertama ada lagi yang lainnya. Koq ya di sini ada penjual koran (lagi) yaa ... pikir penulis. Penulis jadi ingin tahu apa ada berita menarik dari sekitar wilayah itu atau mungkin ada isu yang sedang trending topic. Penulis lantas berhenti dan membeli. Jadi teringat hal demikian biasa penulis lakukan pada masa dahulu  sebelum keadaan berubah. Sebutlah, itu sebelum keberadaan media sosial menjadi alternatif sumber berita.

Berita koran pada masanya selalu ditunggu, lembar surat kabar diperebutkan, isinya dipercaya dan mempengaruhi opini masyarakat. Saat itu belum ada kosa kata ‘hoaks’ atau berita bohong. Wartawan diibaratkan ratu dunia. Sebelumnya,  siaran radio juga menjadi saluran informasi utama. Keberadaan penyiar radio amat diidolakan para pendengar penggemarnya. Jangankan cari berita, penulis sempat sering menikmati siaran pandangan mata pertandingan sepak bola, khususnya pertandingan Galatama, Liga Sepak Bola Utama.  Penyiar Pak Supangat dari RGS, Radio Gelora Surabaya, begitu bersemangat, berapi-api menyiarkan.

Sesudah era radio, kita menyaksikan dunia pertelevisian berkembang pada sekitar tahun 1990. Setelah TVRI lama memonopoli, muncullah beberapa televisi swasta nasional, yakni RCTI oke, SCTV, ANTV keren, TPI serta Indosiar ikan teri. Kebutuhan masyarakat terhadap informasi lantas diipuaskan dengan tayangan hidup di layar kaca. Meski begitu, untuk sementara waktu, koran dan televisi terlihat hidup berkembang saling beriringan tidak saling menenggelamkan. Keduanya diperlukan oleh segmen, situasi atau untuk kondisi yang berbeda.

Nah, begitu teknologi internet dan digital melesat merambah dalam kehidupan masyarakat, media informasi cetak, khususnya koran, seakan mendapat serangan. Update berita   harian surat kabar pagi atau sore kalah cepat atau terlambat dibanding penyebaran informasi lewat media sosial. Oplah surat kabar yang semula ada yang mencapai ratusan ribu tiap hari, tidak dapat bertahan, menurun. Penulis sempat menikmati pemberitaan di Jawa Pos, Suara Pembaharuan, Kompas, Republika, Pelita, Surabaya Post, Media Indonesia. Nama-nama besar tersebut kita lihat ada yang lalu mengembangkan media online. Bahkan Republika kini meninggalkan format cetak dan sepenuhnya bentuk online.

Media sosial hadir dalam kehidupan era informasi yang lebih bebas dan terbuka seiring kemajuan teknologi informasi, hape. Semula sempat sering terdengar celetukan orang 'medsos koq dipercaya?' Dalam pandangan mereka media sosial banyak memuat guyonan atau sekedar pemanis pergaulan, kabar yang remeh-temeh, tak penting-penting amat, bahkan hoaks. Faktanya, dalam perkembangannya di medsos sering ditemui informasi penting, gawat, darurat,  yang tak diangkat di media arus utama atau mainstream. Betapa orang akhirnya pun suka memantau info di media sosial, bahkan tergantung atau kecanduan untuk selalu membuka medsos setiap waktu. Masyarakat mulai malas menonton televisi atau koran besar.

Lalu orang melihat tivi hanya pas ada siaran sepak bola atau anak-anak menonton film kartun atau tayangan kesukaan mereka. Orang tak lagi menunggu Dunia Dalam Berita atau bahkan tak lagi mengistimewakan Breaking News, Berita Terkini di tivi. Tak jarang, televisi menurunkan berita yang sudah lebih dulu tayang di platform you tube, misalnya, atau apalagi video-video yang secepat kilat menyebar di Whattsap. Yang di tivi semula sebagai pembanding atau mungkin lebih lengkap dan kredibel. Lama-lama orang tak merasa perlu melihat tivi. Pernah ada survey bahwa hanya 20% saja orang muda yang menonton tivi. Dapat dipastikan sekarang lebih menurun lagi.

Saat musim kampanye pilpres, televisi nasional juga koran-koran yang punya nama besar gencar memberitakan hasil survey tingkat keterpilihan para calon. Muncullah dugaan itu adalah bagian dari kampanye pihak tertentu, settingan, survey abal-abal, untuk penggiringan opini, pemenangan paslon tertentu. Di saat lain, ketika ada suatu isu yang ramai diperbincangkan di masyarakat, viral di media sosial, justru media besar televisi atau koran tak selalu memuat. Mereka ternyata  pilih-pilih berita sesuai kepentingan atau pesanan. Independensi jurnalistik dari mereka dipertanyakan.

Beberapa waktu lalu tersiar berita PHK banyak karyawan di televisi nasional ternama. Televisi kehilangan pemirsa karena kurang kreatif dan inovatif hingga kalah kompetisi di tengah gempita media sosial dan media online. Yang miris adalah mereka tak lagi dipercaya. Media besar televisi, koran, dinilai tak independen. Mereka dapat disetir atau dibeli pemilik modal. Barangkali satu dua saja yang  berintegritas, berani obyektif, adil, berimbang dan menolak sikap tidak jujur. 

Sayangnya, pemilik media sebagian besar adalah para cukong atau pengusaha yang banyak kepentingan. Para intelektual di dunia jurnalistik terancam integritasnya. Teringat sikap Cak Nun,  budayawan Emha Ainun Nadjib, yang dari dulu tidak sudi tampil di media televisi nasional. Di negeri yang konon senang sopan santun dan gotong royong ini kejujuran dan keadilan masih susah sebagaimana susahnya rakyat untuk sejahtera. Wallaahu a'lam.

_________

Lamongan, Sabtu 24 Mei 2025

Tidak ada komentar:

Mengapa Netizen Menanyakan Ijazah Asli Mulyono?

_______ Jagad perbincangan di Tanah Air,  khususnya di media sosial,  diramaikan kasus dugaan ijazah palsu Mulyono. Si Mul selama ini tak pe...