_______
Kita hidup di antara orang hidup, yang bergerak badannya, pikiran, perasaan atau jiwa mereka. Kita tidak hidup di tengah para jenazah yang diam kaku tak bergerak. Itulah sebabnya kita pun bergerak, berpikir, berperasaan dan selalu bersikap setiap saat. Karena kita ini bergerak, berubah-ubah, maka tak senang perasaan kita, terusik piikiran kita bila ada orang yang anggap kita atau inginkan kita diam, statis. Sebagaimana hal itu, kita pun tak boleh tuntut orang diam untuk menyenangkan kita, atau agar kita bebas bergerak dan orang lain membisu, mrmbeku. Hal yang tidak fair itu membuat tidak nyaman dan tidak harmonis.
Saat berada di rumah, bersama keluarga bukan tak ada penyesuaian. Setiap kita dikaruniakan minat dan kompetensi yang berbeda. Itu yang merekatkan kita, karena keterbatasan setiap insan mendorong sikap saling melengkapi, saling membutuhkan dan menumbuhkan kasih sayang. Kita berusaha mengarungi kehidupan yang dinamis ini untuk ketidhaan Allah. Asalkan dalam keluarga diupayakan pembiasaan ibadah, belajar, bekerja sesuai proporsi masing-masing, maka in sya Allah mudah untuk baik-baik saja. Apalagi bila ingin suasana qurrata a'yun, sakinah mawaddah warrahmah serta menjauhkan dari siksa neraka. Semoga Allah makin menuntun.
Ketika di tengah para murid di kelas, di sekolah, atau di dalam masjid, maka sebagai guru harus menempatkan diri menjadi bagian dari persepsi mereka yang masih remaja. Sudah pasti guru tak dapat dan tak perlu seperti anak-anak, atau terlalu masuk pada dunia mereka. Yang barangkali dibutuhkan adalah bahwa guru menjadi bagian dari kehidupan mereka, sebagaimana orang tua mereka, paman, kakak, orang-orang dekat yang selama ini mereka kenal. Dengan begitu seorang guru mudah memahami persepsi anak didiknya, para murid pun tak terlalu sukar mendekatkan jarak diri mereka dengan idealisme gurunya.
Memandang masyarakat secara umum kita pun perlu ingat kondisi obyektif berdasarkan data. Meski angka selalu bergerak, atau mungkin ada data pembanding, yang tak sama persis, namun bila berbeda tetap dapat dipahami, maka salah satunya boleh kita ambil sebagai rujukan. Misalnya, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, terbaca 63% lulusan SMP saja. Yang pernah mengenyam perguruan tibggi 7-10 %. Jadi harap maklum dengan minat, selera, pemahaman atau tingkat berpikir mereka terhadap berbagai hal. Para guru, dosen, atau yang pernah kuliah adalah kelompok elit di negeri ini.
Masyarakat muslim Indonesia berkisar di angka 88%, yang menjalankan shalat 36%, tang 60% Islam KTP. Yang shalat berjamaah ke masjid 17%. Para pendakwah, ormas Islam atau siapa saja yang peduli debgan kondisi umat atau masyarakat perlu realistis Dari situ kita menyadari berbagai jenis pola dakwah dan pendekatan. Misalnya, dua ormas besar NU dan Muhammadiyah, keduanya bergerak di tataran masing-masing. Keduanya saling membuat manfaat, ibarat dua sayap garudatang menerbangkan Indonesia, seperti ungkapan Prof. Dr. Nurcholis Madjid, in sya Allah.
_______
Lamongan, 13 Nov. 2025 / 22 Jumadil Awal 1447 H.