Minggu, 29 Juni 2025

Catatan Liburan Sekolah: Sehat Imane Sehat Awake Sehat Duite



_______

Besarnya persoalan pendidikan boleh dikata segedhe gajah, maka penulis akan menyampaikan dari sisi ibarat orang-orang buta yang mengenal gajah. Ada yang meraba kakinya saja, ada yang hanya memegang kuping, ada yang cukup disentuhkan ekor, serta ada  yang mengelus badannya. Berdasarkan pengalaman empiris masing-masing, akan memunculkan kesan beragam. Apa yang disampaikan para orang buta akan dikatakan benar semua, dengan prosentasi kebenaran yang tentu tidak menyeluruh. Tulisan ini mungkin hanya mampu menyentuh secuil kecil atau setipis ari dari masalah pendidikan yang kompleks. Ini 'disclaimer' sebelum penulis membuat catatan tentang pendidikan di masa liburan sekolah ini. 

Judul di atas penulis ambil dari yang tertulis di foto kaos tokoh Gus Nur (Sugi Nur Raharja). Ini suka-suka saja. Sekedar meminjam frase,  tujuan pendidikan adalah untuk membuat keimanan yang mantap, kualitas kesehatan badan yang prima serta untuk kesejahteraan. Bila tak sependapat, itu boleh saja, tidak ada salahnya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia yang adil makmur. Ini slogan-slogan yang akrab di telinga kita atau mungkin kerap kita ucapkan. 

Terkait dengan tujuan meningkatkan sumber daya manusia (SDM), ada pemikiran cerdas yang perlu diperhatikan. Pada wawancara di sebuah podcast, Anies Baswedan tidak suka dengan istilah sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, jika manusia adalah sumber daya, maka manusia akan difungsikan sebagai pen-suply kebutuhan pasar. Pendidikan semestinya membuat kualitas hidup yang meningkat, bukan demi pekerjaan. Ungkapan ini membikin sang host pewawancara manggut paham dan kagum. Kita pun boleh merenungkan setelah ini. Memang ada pandangan kritis bahwa sistem pendidikan kini cenderung tidak menghasilkan pemikir tetapi pekerja. 

Sementara tentang pengalaman pendidikan, ternyata kurang dari 7% warga negeri Ibu Pertiwi yang telah. mengenyam bangku kuliah. Demikian data yang disiarkan media Liputan 6 pada 8 Januari 2024. Bila ada versi lain, angkanya pun masih kecil. Itu artinya pembaca blog ini, yang umumnya pernah mengenyam bangku kuliah,  adalah kelompok elit di masyarakat. Para guru di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang minimal lulusan S1 juga kaum elit. Bila kita sedang mengajar, maka perlu ingat bahwa sebagian kecil saja para siswa yang akan terus belajar sampai bangku kuliah. Mungkin karena itu, wisuda di jenjang SMP, SMA dianggap perlu atau dinantikan oleh sebagian siswa, tanda mengakhiri masa sekolah mereka. 

******

Pada proses penerimaan murid baru (SPMB) offline di SMP, seorang emak muda mengaku sebagai alumni dan mengenal penulis. Ia mengatakan setelah SMP ia tidak melanjutkan ke SMA tapi kemudian menikah. Ia lalu hidup di daerah lain dan berdagang. Penulis tanya dagang apa? Ia bilang ia jualan berpindah-pindah, berdagang bila ada pertunjukan ludruk. Penulis lalu coba paham cara bicaranya dengan sesama ibu pendaftar. Hei, Crut. Iki ditulis ngene tah?  Ia panggil temannya crat crut yang barangkali tak beda seperti saat jualan di tontonan. Mereka di antaranya orang tua wali murid anak-anak yang akan diajar di sekolah. Apakah anak-anak mereka juga cukup sekolah hingga SMP, SMA? Belum tentu juga.

Pak, titip-titip anak kula, nggih. Mbenjing mlebet ten SMKne Njenengan. Seorang tukang batu omong-omong suatu saat. Dia tahu, selain di SMP penulis juga mengajar di SMK. Penulis pun tanya, yogane jaler nopo estri? Jaler, katanya. Niki sing nomor kalih. Sing mbajeng Mbak e kuliyah ten Trunojoyo. Nggiih kula bandani kalih dengkul niki. Maksudnya dia membiayai dari upah sebagai tukang. Wah, syukur alhamdulillah, Pak. Mugi-mugi adhik e saget nututi Mbak e. Penulis menanggapi yang semestinya. Betapa terlihat pada diri Pak Tukang itu  ada rasa syukur punya anak kuliah, sekolah di perguruan tinggi. Ada harapan anak lainnya juga baik, Semua kita ingin memiliki keturunan yang shalih shalihah yang manfaat untuk sesama. Khayrunnaasi 'anfa'ahum linnaasi.

Rabbanaa hablana min azwaajina wadzurriyyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqiina imaama. Rabbi habli minasshaalihiin. Rabbi habliminladunka dzurriyatan thayyibatan innaka samii'uddu'aa'. Aamiin.

                                                                   *******

Akhir pekan lalu dilaksanakan pembagian rapor hasil  belajar semester genap.  Pekan ini dan dua pekan ke depan adalah liburan sekolah.  Aktivitas pembelajaran istirahat. Para siswa tidak punya jadwal ke sekolah, baik untuk kegiatan intra maupun ekstra kurikuler, kecuali barangkali sedang ada hal khusus. Anak-anak kembali ke habitat asli di rumah. Memang pada hakikatnya tempat belajar yang mendasar, al madrasatul uula, adalah di rumah. Orang tua adalah pendidik utama. Nah, liburan sekolah menjadi saat pengembalian pengasuhan anak-anak kepada orang tua, boleh dikata demikian. Kini orang tua sadar lagi, bila ada yang lupa, tentang kepentingan pendidikan anak.

Di rapat-rapat akhir semester genap di sekolah-sekolah, biasa disebut rapat kenaikan kelas, tentu selalu diwarnai bahasan tentang siswa, khususnya tentang siswa siswi yang dianggap bermasalah. Persoalan siswa umumnya bukan kompetensi akademik atau kemampuan menyerap materi pelajaran. Kurikulum yang mengusung konsep pembelajaran diferensiasi tidak menuntut semua siswa mencapai target yang sama. Masing-masing ditoleransi untuk dapat menyelesaikan tujuan pembelajaran yang ditentukan sesuai dengan kecepatan dan kemampuan yang dimiliki. Bahkan program inklusi memungkinkan sekolah umum untuk menerima anak-anak berkebutuhan  khusus. Bahasan yang memantik perhatian lebih pada tentang karakter atau perilaku siswa.

Tidak hanya tentang kompetensi akademik, sebagai pendidik guru diharapkan dapat menghadapi masing-masing anak secara berbeda sesuai keunikan latar belakangnya. Bukan semangat diskriminasi tetapi untuk bersikap profesional dan proporsional. Ada jenis anak-anak yang  rajin berangkat ke sekolah tapi ketika  disuruh mengikuti pelajaran, mereka tampak  enggan, malas mikir. Mereka ke sekolah tak beda seperti untuk dolan saja. Minat belajarnya rendah. Itu karena di rumah mereka sudah susah, maka di sekolah adalah untuk rekreasi. Ini agar tidak mudah menyalahkan anak. Guru tidak bijak bila menuntut anak sesuai keadaan dirinya yang sudah dewasa, mapan. Sepatutnya kita realistis, rasional dan penuh kasih sayang pada para belia itu. 

Betapa beragam kondisi para murid yang kategori bermasalah.  Ada yang berangkat tapi tidak sampai sekolah, belok ke warung kopi atau warung wifi, atau cari tempat tidur.  Si anak masih belum dapat menerima perpisahan kedua orang tuanya, butuh pendampingan. Ada juga siswa yang dari orang tua lengkap, saat di rumah ia terlalu dimanja, maka di sekolah cenderung keras kepala. Ada sebagian anak yang sebetulnya ingin belajar dengan baik, namun keadaan yang melingkupinya kurang mendukung. Kondisi ekonomi kurang mampu, orang tua tidak di rumah, bekerja di tempat jauh. Selalu ada pula yang yatim, piatu atau yatim.piatu yang membutuhkan kasih sayang dan penguatan.  Ada juga yang kondisi daya pikir si anak memang terbatas atau IQ rendah. 

Konsep diferensiasi di antaranya dimaknai realistis terhadap kondisi anak. Tidak tepat menyamaratakan semua anak, gebyah uyah.  Jangan samakan tiap siswa seperti anaknya para guru, misalnya. Kita para guru hendaknya jujur terhadap diri sendiri, bahwa kita saat berusia seperti anak kita atau siswa kita, kondisinya juga tidak beda. Tak bijak menuntut anak-anak mudah manut, hasil atau nilai siswa di atas 7 semua, misalnya. Bukankah tiap anak memiliki bakat, minat dan takdir sendiri-sendiri? 

                                                               *******

Orang tua, guru, pemimpin umat dan masyarakat tak henti memikirkan dan mengharap kebaikan generasi penerus. Sebagai pewaris Nabi, ulama dan guru serta para cendekiawan, tak tega apabila keadaan kehidupan masyarakat, apalagi generasi mudanya,  memburuk. Rusaknya jalan perlu dikeluhkan,  menuanya gedung, bangunan, tempat umum yang tidak layak perlu  disampaikan dan diupayakan untuk dibangun. Namun tak kalah penting adalah keadaan generasi muda penerus bangsa, yang vital atau utama.

Keprihatinan adalah ciri kecendekiawanan.  Orang beriman harus selalu memendam keprihatianan. Itu adalah wajar dan wajib dimiliki unttuk semangat amar ma'ruf nahi mungkar. Anyway, keprihatinan tak boleh membuat hina, sedih apalagi putus asa. Kita para guru harus senantiasa bersemangat, bergembira dan visioner ke depan. Walaatahinuu walaatahzanuu  wa antumul a'lawna inkuntum mu'miniin. Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) merasa sedih, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin. (QS. Ali Imran: 139) 

                                                                                *******

Menjenguk seorang teman guru yang sedang sakit, anak dan istrinya cerita bila sang abah suka membawa pulang masalah sekolah. Bukan persoalan administrasi atau pergaulan dengan kolega dan pimpinan, tetapi masalah-masalah anak didiknya. Bukan tentang sulitnya mereka mencerna pelajaran. Sang ayah sering memikirkan bagaimana kehidupan siswanya yang bermasalah karena kekurangan ekonomi orang tuanya, atau karena orang tuanya bercerai. Entah karena merasa dahulu berasal dari keluarga kurang mampu, maka sang ayah amat peka terhadap kondisi ana²k yang kekurangan. Ia sering  berusaha dapat membantu sesuai kemampuan.

Mengenai bagaimana menghadapai belajar para siswanya, sang ayah merasa sreg, tenang dan senang membaca kutipan ucapan ulama kharismatik KH. Maimoen Zubair. Tokoh yang sering dipanggil Mbah Moen itu mengatakan bahwa guru tak perlu merasa yang memintarkan siswa."Jadi guru tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik.Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Didoakan saja terus-menerus agar muridnya mendapat hidayah. " (KH. Maimoen Zubair)

Penulis terkesan dengan teman guru tersebut karena sikap dan pendapatnya sebagai guru terbilang tidak banyak yang mempedomaninya. Selain sering  berusaha menolong siswa yang kekurangan,  ia juga  membiasakan diri mendoakan para siswanya. Ini langka, bukan? Karena itu, penulis mendokumentasikan dalam tulisan 1700 kata ini.

Penulis sempat berucap bahwa kini hubungan guru - siswa kadang terkesan   transaksional, seperti penjual dan pembeli ilmu. Seringnya terdengar keluhan guru terhadap murid, obyek profesinya. Bila dilihat secara profesional, murid adalah klien, customer atau pelanggan, user atau pengguna layanan kita, para guru. Dari sisi nilai keagamaan, murid adalah  amanah titipan dari wali murid serta obyek dakwah para guru sebagai pewaris Nabi. Guru yang profesional dituntut membetikan service atau layanan yang baik. 

*******

Sayangnya, fungsi pendidikan yang mulia untuk meningkatkan kwalitas diri tak jarang dipersempit oleh orang tua siswa. Ada yang pilih-pilih sekolah favorit untuk anaknya dengan cara yang tidak pas. Ada orang tua yang memilihkan sekolah untuk anak demi gengsi saja. Ada pula yang mengajak dan mengajari anak untuk mempraktikkan ketidakjujuran dalam tes masuk. Na’udzubillah.                                          

Begitupun dalam keseharian belajar di sekolah,  kadang kala kecerdasan dan prestasi tidak dikaitkan dengan karakter mulia khususnya kejujuran. Para guru, termasuk penulis pribadi,  juga kadang menjadi tidak peka terhadap hal ini. Para guru tidak mudah bersikap tegas terhadap praktik kecurangan siswa dalam ulangan atau ujian karena menyadari kemampuan yang beragam. Kurikulum dan teknis pembelajaran yang tak selalu sesuai untuk berbagai level kompetensi, minat, motivasi dan latar belakang siswa juga membuat guru tak dapat bersikap kaku dalam proses pembelajaran dan evaluasi.

Ironis krisis kejujuran dan integritas, juga terjadi pada lembaga pendidikan Universitas Indohoy (UI) yang mencoba memberikan gelar secara murah kepada seorang pemimpin partai besar dan menuai berbagai kritik. Tak kalah memprihatinkan, Universitas Genk Mulyono (UGM) direndahkan dan dipermalukan nama besarnya oleh para pimpinannya sekarang yang pasang badan atas kepalsuan ijazah Mulyono. Ironis, memprihatinkan dan membikin miris. Namun dengan membaca QS. Ali Imran : 139 di paragraf 14 di atas kita senantiasa tegak dan optimis. Semoga kita selalu sehat iman, sehat badan dan sehat kesejahteraan. Aamiin.

Terima kasih telah bersabar membaca. Semoga manfaat. Nashrun minAllah wafathun qariib. Wabasyiril mu'miniin.

_______ 

Lamongan,  28 Juni 2025 /  3 Muharram 1447 H



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Menarik

Catatan Liburan Sekolah: Sehat Imane Sehat Awake Sehat Duite

_______ Besarnya persoalan pendidikan boleh dikata segedhe gajah, maka penulis akan menyampaikan dari sisi ibarat orang-orang buta yang meng...