_______
Besarnya persoalan pendidikan boleh dikata segedhe gajah, maka
penulis akan menyampaikan dari sisi ibarat orang-orang buta yang mengenal
gajah. Ada yang meraba kakinya saja, ada yang hanya memegang kuping, ada yang
cukup disentuhkan ekor, serta ada yang mengelus badannya.
Berdasarkan pengalaman empiris masing-masing, akan memunculkan kesan beragam.
Apa yang disampaikan para orang buta akan dikatakan benar semua, dengan
prosentasi kebenaran yang tentu tidak menyeluruh. Tulisan ini mungkin hanya mampu
menyentuh secuil kecil atau setipis ari dari masalah pendidikan yang kompleks. Ini 'disclaimer' sebelum penulis membuat catatan tentang pendidikan di masa
liburan sekolah ini.
Judul di atas penulis ambil dari yang tertulis di foto kaos tokoh
Gus Nur (Sugi Nur Raharja). Ini suka-suka saja. Sekedar meminjam frase, tujuan pendidikan adalah untuk membuat keimanan yang mantap, kualitas kesehatan
badan yang prima serta untuk kesejahteraan. Bila tak sependapat, itu boleh saja, tidak ada salahnya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia yang adil makmur. Ini
slogan-slogan yang akrab di telinga kita atau mungkin kerap kita ucapkan.
Terkait dengan tujuan meningkatkan sumber daya manusia (SDM), ada pemikiran cerdas yang perlu
diperhatikan. Pada wawancara di sebuah podcast, Anies Baswedan tidak suka
dengan istilah sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, jika manusia adalah
sumber daya, maka manusia akan difungsikan sebagai pen-suply kebutuhan pasar.
Pendidikan semestinya membuat kualitas hidup yang meningkat, bukan demi
pekerjaan. Ungkapan ini membikin sang host pewawancara manggut paham dan kagum. Kita
pun boleh merenungkan setelah ini. Memang ada pandangan kritis bahwa
sistem pendidikan kini cenderung tidak menghasilkan pemikir tetapi
pekerja.
Sementara tentang pengalaman pendidikan, ternyata kurang
dari 7% warga negeri Ibu Pertiwi yang telah. mengenyam bangku kuliah. Demikian
data yang disiarkan media Liputan 6 pada 8 Januari 2024. Bila ada versi lain,
angkanya pun masih kecil. Itu artinya pembaca blog ini, yang umumnya pernah mengenyam bangku kuliah, adalah kelompok elit di masyarakat. Para
guru di jenjang pendidikan dasar dan menengah yang minimal lulusan S1 juga kaum
elit. Bila kita sedang mengajar, maka perlu ingat bahwa sebagian kecil saja para
siswa yang akan terus belajar sampai bangku kuliah. Mungkin karena itu, wisuda di jenjang SMP, SMA
dianggap perlu atau dinantikan oleh sebagian siswa, tanda mengakhiri masa sekolah mereka.
******
Pada proses penerimaan murid baru (SPMB) offline di SMP,
seorang emak muda mengaku sebagai alumni dan mengenal penulis. Ia mengatakan
setelah SMP ia tidak melanjutkan ke SMA tapi kemudian menikah. Ia lalu hidup di
daerah lain dan berdagang. Penulis tanya dagang apa? Ia bilang ia jualan
berpindah-pindah, berdagang bila ada pertunjukan ludruk. Penulis lalu coba paham
cara bicaranya dengan sesama ibu pendaftar. Hei, Crut. Iki ditulis ngene
tah? Ia panggil temannya crat crut yang barangkali tak beda seperti saat
jualan di tontonan. Mereka di antaranya orang tua wali murid anak-anak yang
akan diajar di sekolah. Apakah anak-anak mereka juga cukup sekolah hingga SMP,
SMA? Belum tentu juga.
Pak, titip-titip anak kula, nggih. Mbenjing mlebet ten SMKne
Njenengan. Seorang tukang batu omong-omong suatu saat. Dia tahu, selain di SMP penulis juga mengajar di SMK. Penulis pun tanya, yogane jaler nopo estri? Jaler,
katanya. Niki sing nomor kalih. Sing mbajeng Mbak e kuliyah ten Trunojoyo.
Nggiih kula bandani kalih dengkul niki. Maksudnya dia membiayai dari upah
sebagai tukang. Wah, syukur alhamdulillah, Pak. Mugi-mugi adhik e saget nututi
Mbak e. Penulis menanggapi yang semestinya. Betapa terlihat pada diri
Pak Tukang itu ada rasa syukur punya anak kuliah, sekolah di perguruan
tinggi. Ada harapan anak lainnya juga baik, Semua kita ingin memiliki keturunan
yang shalih shalihah yang manfaat untuk sesama. Khayrunnaasi 'anfa'ahum
linnaasi.
Rabbanaa hablana min azwaajina wadzurriyyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqiina imaama. Rabbi habli minasshaalihiin. Rabbi habliminladunka dzurriyatan thayyibatan innaka samii'uddu'aa'. Aamiin.
*******
Akhir pekan lalu dilaksanakan pembagian rapor hasil
belajar semester genap. Pekan ini dan dua pekan ke depan adalah liburan
sekolah. Aktivitas pembelajaran istirahat. Para siswa tidak punya jadwal
ke sekolah, baik untuk kegiatan intra maupun ekstra kurikuler, kecuali
barangkali sedang ada hal khusus. Anak-anak kembali ke habitat asli di rumah.
Memang pada hakikatnya tempat belajar yang mendasar, al madrasatul uula, adalah
di rumah. Orang tua adalah pendidik utama. Nah, liburan sekolah menjadi saat
pengembalian pengasuhan anak-anak kepada orang tua, boleh dikata demikian. Kini
orang tua sadar lagi, bila ada yang lupa, tentang kepentingan pendidikan anak.
Di rapat-rapat akhir semester genap di sekolah-sekolah, biasa
disebut rapat kenaikan kelas, tentu selalu diwarnai bahasan tentang siswa,
khususnya tentang siswa siswi yang dianggap bermasalah. Persoalan siswa umumnya
bukan kompetensi akademik atau kemampuan menyerap materi pelajaran. Kurikulum
yang mengusung konsep pembelajaran diferensiasi tidak menuntut semua siswa
mencapai target yang sama. Masing-masing ditoleransi untuk dapat menyelesaikan
tujuan pembelajaran yang ditentukan sesuai dengan kecepatan dan kemampuan yang
dimiliki. Bahkan program inklusi memungkinkan sekolah umum untuk menerima
anak-anak berkebutuhan khusus. Bahasan yang memantik perhatian lebih pada
tentang karakter atau perilaku siswa.
Tidak hanya tentang kompetensi akademik, sebagai pendidik guru
diharapkan dapat menghadapi masing-masing anak secara berbeda sesuai keunikan
latar belakangnya. Bukan semangat diskriminasi tetapi untuk bersikap
profesional dan proporsional. Ada jenis anak-anak yang rajin berangkat ke
sekolah tapi ketika disuruh mengikuti pelajaran, mereka tampak
enggan, malas mikir. Mereka ke sekolah tak beda seperti untuk dolan saja. Minat
belajarnya rendah. Itu karena di rumah mereka sudah susah, maka di sekolah
adalah untuk rekreasi. Ini agar tidak mudah menyalahkan anak. Guru tidak bijak
bila menuntut anak sesuai keadaan dirinya yang sudah dewasa, mapan. Sepatutnya
kita realistis, rasional dan penuh kasih sayang pada para belia itu.
Betapa beragam kondisi para murid yang kategori bermasalah.
Ada yang berangkat tapi tidak sampai
sekolah, belok ke warung kopi atau warung wifi, atau cari tempat tidur. Si anak masih belum dapat
menerima perpisahan kedua orang tuanya, butuh pendampingan. Ada juga siswa yang
dari orang tua lengkap, saat di rumah ia terlalu dimanja, maka di sekolah
cenderung keras kepala. Ada sebagian anak yang sebetulnya ingin belajar dengan
baik, namun keadaan yang melingkupinya kurang mendukung. Kondisi ekonomi kurang
mampu, orang tua tidak di rumah, bekerja di tempat jauh. Selalu ada pula yang
yatim, piatu atau yatim.piatu yang membutuhkan kasih sayang dan penguatan. Ada juga yang kondisi daya pikir si anak
memang terbatas atau IQ rendah.
Konsep diferensiasi di antaranya dimaknai realistis terhadap
kondisi anak. Tidak tepat menyamaratakan semua anak, gebyah uyah. Jangan
samakan tiap siswa seperti anaknya para guru, misalnya. Kita para guru
hendaknya jujur terhadap diri sendiri, bahwa kita saat berusia seperti anak
kita atau siswa kita, kondisinya juga tidak beda. Tak bijak menuntut anak-anak mudah
manut, hasil atau nilai siswa di atas 7 semua, misalnya. Bukankah tiap anak
memiliki bakat, minat dan takdir sendiri-sendiri?
*******
Orang tua, guru, pemimpin umat dan masyarakat tak henti memikirkan dan mengharap kebaikan generasi penerus. Sebagai pewaris Nabi, ulama dan guru serta para cendekiawan, tak tega apabila keadaan kehidupan masyarakat, apalagi generasi mudanya, memburuk. Rusaknya jalan perlu dikeluhkan, menuanya gedung, bangunan, tempat umum yang tidak layak perlu disampaikan dan diupayakan untuk dibangun. Namun tak kalah penting adalah keadaan generasi muda penerus bangsa, yang vital atau utama.
Keprihatinan adalah ciri kecendekiawanan. Orang
beriman harus selalu memendam keprihatianan. Itu adalah wajar dan wajib
dimiliki unttuk semangat amar ma'ruf nahi mungkar. Anyway, keprihatinan tak boleh
membuat hina, sedih apalagi putus asa. Kita para guru harus senantiasa
bersemangat, bergembira dan visioner ke depan. Walaatahinuu walaatahzanuu
wa antumul a'lawna inkuntum mu'miniin. Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan
(pula) merasa sedih, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu
orang-orang mukmin. (QS. Ali Imran: 139)
*******
Menjenguk seorang teman guru yang sedang sakit, anak dan
istrinya cerita bila sang abah suka membawa pulang masalah sekolah. Bukan
persoalan administrasi atau pergaulan dengan kolega dan pimpinan, tetapi
masalah-masalah anak didiknya. Bukan tentang sulitnya mereka mencerna
pelajaran. Sang ayah sering memikirkan bagaimana kehidupan siswanya yang
bermasalah karena kekurangan ekonomi orang tuanya, atau karena orang tuanya
bercerai. Entah karena merasa dahulu berasal dari keluarga kurang mampu, maka
sang ayah amat peka terhadap kondisi ana²k yang kekurangan. Ia sering
berusaha dapat membantu sesuai kemampuan.
Mengenai bagaimana menghadapai belajar para siswanya, sang
ayah merasa sreg, tenang dan senang membaca kutipan ucapan ulama kharismatik
KH. Maimoen Zubair. Tokoh yang sering dipanggil Mbah Moen itu mengatakan bahwa
guru tak perlu merasa yang memintarkan siswa."Jadi guru tidak usah punya
niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu
tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan
mendidik yang baik.Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada
Allah. Didoakan saja terus-menerus agar muridnya mendapat hidayah. " (KH.
Maimoen Zubair)
Penulis terkesan dengan teman guru tersebut karena sikap dan
pendapatnya sebagai guru terbilang tidak banyak yang mempedomaninya. Selain
sering berusaha menolong siswa yang
kekurangan, ia juga membiasakan diri mendoakan para
siswanya. Ini langka, bukan? Karena itu, penulis mendokumentasikan dalam tulisan 1700 kata ini.
Penulis sempat berucap bahwa kini hubungan guru - siswa
kadang terkesan transaksional, seperti penjual dan pembeli ilmu. Seringnya terdengar
keluhan guru terhadap murid, obyek profesinya. Bila dilihat secara profesional,
murid adalah klien, customer atau pelanggan, user atau pengguna layanan kita,
para guru. Dari sisi nilai keagamaan, murid adalah amanah titipan dari
wali murid serta obyek dakwah para guru sebagai pewaris Nabi. Guru yang
profesional dituntut membetikan service atau layanan yang baik.
*******
Sayangnya, fungsi pendidikan yang mulia untuk meningkatkan kwalitas diri tak jarang dipersempit oleh orang tua siswa. Ada yang pilih-pilih sekolah favorit untuk anaknya dengan cara yang tidak pas. Ada orang tua yang memilihkan sekolah untuk anak demi gengsi saja. Ada pula yang mengajak dan mengajari anak untuk mempraktikkan ketidakjujuran dalam tes masuk. Na’udzubillah.
Begitupun dalam keseharian belajar di sekolah, kadang kala kecerdasan dan prestasi tidak dikaitkan dengan karakter mulia khususnya kejujuran. Para guru, termasuk penulis pribadi, juga kadang menjadi tidak peka terhadap hal ini. Para guru tidak mudah bersikap tegas terhadap praktik kecurangan siswa dalam ulangan atau ujian karena menyadari kemampuan yang beragam. Kurikulum dan teknis pembelajaran yang tak selalu sesuai untuk berbagai level kompetensi, minat, motivasi dan latar belakang siswa juga membuat guru tak dapat bersikap kaku dalam proses pembelajaran dan evaluasi.
Ironis krisis kejujuran dan integritas, juga terjadi pada lembaga pendidikan Universitas Indohoy (UI) yang mencoba memberikan gelar secara murah kepada seorang pemimpin partai besar dan menuai berbagai kritik. Tak kalah memprihatinkan, Universitas Genk Mulyono (UGM) direndahkan dan dipermalukan nama besarnya oleh para pimpinannya sekarang yang pasang badan atas kepalsuan ijazah Mulyono. Ironis, memprihatinkan dan membikin miris. Namun dengan membaca QS. Ali Imran : 139 di paragraf 14 di atas kita senantiasa tegak dan optimis. Semoga kita selalu sehat iman, sehat badan dan sehat kesejahteraan. Aamiin.
Terima kasih telah bersabar membaca. Semoga manfaat. Nashrun minAllah wafathun qariib. Wabasyiril mu'miniin.
_______
Lamongan, 28 Juni 2025 / 3 Muharram 1447 H
1 komentar:
Menarik
Posting Komentar