Selasa, 18 Maret 2025

Pilihan-pilihan Amal Terbaik

 Kepala Sekolah menanya kepada para siswa-siswi sudah berapa jauh bertadarus atau membaca Al Qur'an. Pada pembukaan Pondok Ramadhan 1446 H itu kebetulan di hari ke-17 bulan puasa. Jadi pas dengan momen peringatan Nuzulul Qur'an, kira-kira demikian. Pak KS sendiri mengaku sudah mengaji sampai  juz 22, ma sya Allah tabarakallah, sudah cukup jauh. Itu sudah melebihi one day one juz, satu hari satu juz. Penulis sendiri baru berhasil rata-rata sehari setengah juz, alhamdulillah juga meski kurang he he. Semoga dapat lebih cepat lagi, walaupun membaca Al Qur'an itu bukan balapan. Ini bagian dari fastabiqul khayrat, berlomba dalam kebaikan, khususnya di bulan mulia, Bulan Ramadhan.

Istimewa sekali, ketika Pak KS melontar pertanyaan adakah yang sudah sampai di atas juz 20? Satu siswi mengacungkan tangan. Saat di depan dan ditanya lagi, ia bahkan mengaku telah khatam dua kali dan kini sudah sampai juz 15 lagi. Ma sya Allah tabarakallah. Pak KS sangat terharu dan berucap betapa orang tua siswi yang bernama Nasya Putri Juli Yustina kelas 9E ini pasti senang mempunyai anak shalihah, yang ditunjukkan dengan kesungguhan mengaji tersebut. 

Yang menyaksikan ini umumnya tak membayangkan betapa anak itu begitu rajin, konsisten atau istiqamah dalam mengaji, tadarus. Boleh kita berpikir bahwa ia masih anak-anak yang ounya waktu longgar, sedang libur sekolah atau sedang masa belajar di rumah, ia tak memiliki tanggungan tugas atau pekerjaan. Namun, ia telah membuktikan telah melebihi, jauh melebihi, anak-anak lainnya dalam mengaji,  yang notabene juga punya kelonggaran yang sama. Ini adalah kebaikan yang patut dicatat dan diapresiasi, dikabarkan untuk menjadi refleksi,  inspirasi dan motivasi. Seberapakah kedekatan kita dengan kitab suci, pedoman dan penuntun hidup, yang kita imani, Al Qur.an, ini? Kecintaan dan pemahaman terhadap satu-satunya mukjizat yang masih ada ini adalah penentu kedekatan kita.                                               

Sementara itu, tetangga penulis, Pak Haji dan Bu Hajjah biasa berlama-lama di masjid sesudah menunaikan shalat Subuh. Setelah berdzikir beberapa saat kemudian mereka mengambil Al Qur'an, mengaji hingga waktu syuruq, sekitar pukul 6 pagi atau kurang. Sehabis melakukan shalat sunnah Syuruq 2 rakaat baru turun dari masjid, pulang. Merujuk sebuah hadits bahwa kebaikan amaliah berdzikir di masjid setelah Subuh hingga waktu Syuruq pahalanya seperti menunaikan haji, umrah yang sempurna. sempurna, sempurna. Kita yang tidak atau belum menjalankannya boleh 'meng-iri" untuk dapat pula bersama mereka atau seperti mereka, in sya Allah. 

Sebagaimana sabda Rasulullah shalallaahu 'alayhi wassalam seperti dikatakan Anas r a.: 'Barang siapa shalat Subuh berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah subhaanahu wara'ala sampai terbit matahari, kemudian ia shalat dua rakaat, maka amalan itu sama dengan pahala menunaikan ibadah haji dan umrah secara sempurna, sempurna dan sempurna.' (HR Attirmidzi dan ia mengatakan hadits ini hasan)

Ada pula ibu rumah tangga yang di rumah sehari-hari hanya dapat ‘belajar’ mengaji sebentar-sebentar, sedikit-sedikit, yang berjuang sebagai pemula berusaha selalu konsisten menjalankannya, in sya Allah. Di rumah, ia lebih banyak mengurus kebutuhan anggota keluarga sehingga berlama-lama di dapur, bersih-bersih, diselingi keluar berbelanja melengkapi kebutuhan dapur, serta mengerjakan tugas dinas dan urusan pekerjaan lainnya. Penulis pun mengapresiasi dan bersyukur dan menilai itu adalah salah satu bentuk jihad seorang wanita.  Dengan itu semoga ia senantiasa dikaruniakan hidayah dan ada rahmat Allah yang kelak mengantarkan ke surga-Nya. Aamiin.

Kebaikan atau amal shalih boleh dikata fleksibel dan luas. Ajaran agama memberikan keleluasaan dalam melakukan kebajikan sesuai dengan kemampuan. LaayukallifuLlahi nafsan illaa wus'aaha. Tentu saja ada hal-hal yang standar, pakem, yang semua harus menjalankan, tak dapat ditinggalkan atau digantikan dengan amal lain. Sebutlah, ibadah shalat lima waktu merupakan kewajiban untuk seluruh orang beriman.  Shalat pembeda keimanan dan kekafiran. Dalam melaksanakannya tersedia rukhshah atau keringanan untuk yang mengalami keterbatasan. Misalnya untuk yang sedang sakit boleh menunaikan dengan duduk atau berbaring karena tak kuat berdiri. Untuk musafir, yang tengah bepergian, shalat di dua waktu dapat di-jama’, digabung, atau  dikurangi jumlah rakaatnya , di-qashar.

Tergambar dari contoh-contoh di atas, kebaikan atau amal shalih di luar ibadah mahdhah, begitu luas, banyak pilihan, sesuai kondisi, kemampuan serta situasi. Pada dasarnya semua perbuatan yang tidak melanggar syariat, yang diniatkan lillaahi ta'ala, demi Allah Yang Maha Tinggi, maka itu merupakan amal shalih. Rasuulullah Muhammad shalaLlaahu 'alayhi wasallam memberikan banyak contoh dan pilihan bagi ummat beliau untuk beribadah sunnah dan beramal shalih secara umum. Ajaran agama adalah tidak untuk memberatkan.  Basyiiran wanadhiiran, agama itu menggembirakan dan memberikan peringatan. Para hamba Allah pun tak boleh merasa hina dan bersedih. Kita menuju kemenangan, keberuntungan. Hayya 'alal falaah.

Akhirnya, beberapa contoh di atas adalah bentuk keshalihan personal. Sementara tak kalah nilainya adalah amal-amal yang sifatnya keshalihan sosial. Penulis, misalnya,, ingin mencatat di sini keberadaan webinar MAPARA, Matahari Pagi  Ramadhan, kajian setiap pagi selama bulan puasa yang tahun ini sudah memasuki tahun keempat. Kegiatan dari IRo-Society ini adalah majelis keilmuan virtual yang, misalnya, tahun ini menghadirkan 30 guru besar yang menyampaikan berbagai materi 'keilmuan dan keagamaan'. Ayat -ayat qauliyah berpadu dengan ayat-ayat kauniyah, betapa menggugah dan mencerahkan. Di luar itu, banyak keshalihan sosial yang juga berdampak luas tentu juga yang dilakukan ormas-ormas keagamaan dan berbagai komunitas. Penulis teringat taushiah bahwa  para ahli surga kelak akan memasukinya secara berombong-rombongan.   Ma sya Allah, tabarakallah.

_______

Lamongan, Selasa 18 Ramadhan 1446 H. / 18 Maret 2025                         . 

Rabu, 05 Maret 2025

"Ayat-ayat Favorit" dan Ayat Cahaya di Atas Cahaya yang Sering Dibaca Cak Nun


Semua ayat Al Qur'an pasti bermakna penting untuk kita orang beriman. Meski demikian, tidak semua ayat dapat dengan mudah lancar kita baca, gampang diingat atau dipahami. Ada yang mudah dicerna, ada yang memerlukan penjelasan mendalam, mengikuti tafsir ulama. Di antara itu semua, rasanya, ada yang kita mudah teringat, tersentuh, atau boleh dikatakan tertarik dengan ayat tertentu. Seharusnya semua harus menyentuh dan menarik, namun karena keterbatasan dan kebodohan kita, maka muncullah kesan ada ayat yang 'favorit' yang masing-masing orang dapat berbeda. 

Saat remaja, penulis tertarik pembacaan ayat 'fa alhamaha fujuuraha wataqwaaha'  bahwa manusia itu diberikan potensi untuk dapat berlaku baik maupun untuk berperilaku buruk. Disampaikan pula bahwa beruntunglah orang yang membersihkan dirinya 'qad aflaha manzakkaaha' serta merugilah orang yang mengotori dirinya'waqad khaaba man dassaaha'.  Konsep potensi, kebebasan memilih dan tuntunan Tuhan itu memahamkan kami. Pengajian untuk kami anak-anak remaja di serambi masjid pada sore ba'da Ashar, atau yang sehabis tarawih, pada bulan Ramadhan  terkenang selalu.

Pada waktu kuliah, penulis berteman dekat dengan seorang kakak tingkat. Kebetulan ia berasal satu daerah dengan penulis. Lebih senang lagi karena ia lulusan pondok terkenal, yakni Ponpes Modern Gontor Ponorogo. Ia seakan menjadi saudara di perantauan. Penulis menjadi juniornya juga di organisasi mahasiswa, baik di intra maupun ekstra universitas. Pernah pula kami bekerja 'sambilan di sela kuliah' bersama. Kami dekat sekali sehingga perkataannya ada yang mengesankan saya bahwa Allah mungkin saja memberi rejeki dari arah tak disangka-sangka, 'wayarzuqhu min haytsu laayahtasib.' Makna ayat itu yang penulis otak-atik untuk membuat nama anak pertama, yang 'baru' lahir pada tahun ke tujuh setelah pernikahan. 

Di antaranya bersama Mas Senior itu pula, ada kelompok studi mahasiswa, yang penulis ikuti. Kami pernah mengundang tokoh budayawan nasional,  penyair, penulis, aktivis sosial, yang ternama (bahkan hingga kini, red ) yaitu Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun.  Penulis yang saat itu baru semester 2, sekedar ikut-ikutan dalam kepanitiaan. Pada hari H pelaksanaan, di antaranya penulis ditugaskan menjemput Bapak Pembantu Rektor 3 di Kantor Pusat Lantai 3. Ruang beliau tidak jauh sekali dari Auditorium,  penulis menjemput dan mengawal hingga masuk ruang, yang lalu didampingi panitia lainnya. Entahlah, agak grogi ketika itu tetapi tetap berusaha pedhe sebagai kader aktivis he he he.

Mas Senior menjadi pembawa acara. Keren sekali ia yang memang tinggi, atletis, karena hobby main basket,  tampan, fasih Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, serta terlatih "kithaabah'  pidato saat di Pondok Gontor. Ia klop mengantarkan acara yang menampilkan suami artis Novia Kolopaking tersebut yang kebetulan juga pernah mengenyam 'nyantri' di Gontor. Kala itu Cak Nun sudah sering jadi headline pemberitaan media. Tokoh kelahiran Jombang yang kebetulan adik dari Pembantu Dekan 2 di fakultas kami itu membawakan tema Islam di Antara Budaya Barat dan Timur, lebih kurang demikian yang penulis ingat.

Gaya orasi dan isi ceramah ayah Noe Letto itu menyegarkan pikiran, mencerahkan hati, menarik, sebagaimana ceramah beliau hingga kini. Penulis amat terkesan penampilan penyair yang fenomenal mementaskan teaterikalisasi karyanya Puisi Lautan Jilbab tersebut. Saat itu, Cak Nun sempat membacakan ayat yang 'favorit' sering dibacanya, bahkan dapat kita ketahui hingga bertahun-tahun berikutnya.

 Ayat  35 QS. An Nuur, ayat cahaya di atas cahaya, dibacanya dengan memikat,  serasa semua hadirin terhipnotis. Penampilannya adalah sebagai seorang dramawan yang menghayati betul apa yang diucapkannya. Ia tidak sekedar berakting tetapi ia benar-benar mengekspresikan dirinya sebagai hamba Allah. Audiens pun  terhanyut menyimak ayat itu. Barangkali berlebihan, penulis juga menyaksikannya seakan ada tata cahaya yang menyorotnya, padahal tidak. Ma sya Allah.Wallaahu a.lam.


"Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang (pada dinding) yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti) mutiara, yang dinyalakan dengan  minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disebtuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang dikehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (TQS. An Nuur:35)

_______ 

Lamongan, 5 Ramadhan 1446 H. / 5 Maret 2025

Karya-karya yang Digarap dengan Baik

Kadang terlintas pertanyaan di benak hati kenapa ada karya-karya orang baik yang terus dapat dinikmati hingga kini. Padahal sudah berusia la...